Rabu (26/9) kemarin, Universitas Gili Rinjani (UGR) menjadi panggung bagi drama yang tidak kalah menarik dibandingkan dengan film-film Hollywood. Alumni kampus ini berkumpul untuk mengkritik tindakan Rektor UGR, Basri Mulyani,SH.MH yang melaporkan mahasiswanya sendiri ke Polres Lombok Timur. Keputusan ini seolah menjadi puncak dari kepemimpinan yang sangat "visioner," di mana dialog dan kebebasan berpendapat diabaikan demi menegakkan ketertiban, versi ketertiban yang ditentukan oleh Rektor, tentu saja.
Tuntutan Mahasiswa: Suara yang Terabaikan
Sebelumnya, mahasiswa dengan penuh keberanian telah mengajukan tuntutan yang sebenarnya sangat Rasional: evaluasi kepemimpinan rektor, pengalihfungsian Gedung Putih sebagai pusat kegiatan mahasiswa, transparansi beasiswa KIP-K, serta penyelesaian masalah KIP-K di FKIP. Tuntutan ini seharusnya disambut dengan diskusi konstruktif. Namun, apa yang mereka dapatkan? Ancaman dari Kepala LPTIK, Ahyar Ansori, yang berkomentar di grup WA, “Sekali klik, langsung tamat.” Ya, karena mengakhiri masalah kampus hanya membutuhkan satu klik, kan? Bukankah ini pendekatan yang cerdas dan inovatif?
Orang Suruhan Rektor: Ketika Kebebasan Berpendapat Menjadi Ancaman
Tak puas dengan intimidasi verbal, Rektor juga mengutus delapan orang tak dikenal untuk merusak gembok yang dipasang mahasiswa sebagai simbol perlawanan. Tentu saja, para “pendekar” ini tidak datang untuk berdiskusi. Dengan nada yang mengancam, mereka bertanya, “Siapa yang gembok ini? Mana temen-temenmu, kumpukan semua!” Dan di sinilah ironinya: orang-orang asing ini merasa berhak untuk mengatur mahasiswa di rumah mereka sendiri.
Salah satu dari mereka bahkan mengancam akan mengirim “orang-orangnya” untuk menggerebek mahasiswa. Wow, sebuah tawaran yang sangat menggugah selera demokrasi! Para mahasiswa, yang tadinya berjuang untuk aspirasi mereka, malah dipaksa keluar dari kampus. Ini adalah cara yang sangat elegan untuk menyelesaikan masalah, bukan?
Alumni Bersuara: Rektor yang Gagal Paham
Tidak heran jika alumni UGR tidak tinggal diam. Mereka mengutuk tindakan Rektor yang melaporkan mahasiswanya, yang jelas-jelas merupakan upaya untuk membungkam suara kritis. Alumni menegaskan bahwa pihak rektorat harus:
- Segera mencabut laporan terhadap mahasiswa dan membuka ruang dialog yang sehat—bukan intimidasi.
- Mengingat kembali nilai-nilai yang diletakkan oleh pendiri UGR, Ali Bin Dachlan, yang mengagungkan kebebasan berekspresi. Mari kita ingat bahwa kampus ini seharusnya menjadi “Syurganya Demokrasi,” bukan “Kampus Tanpa Suara.”
- Mengajak semua civitas akademika untuk bersatu melawan tindakan represif yang merusak nilai-nilai kebebasan akademik.
Rektor: Definisi Demokrasi yang Sempit
Dalam tanggapannya, Basri Mulyani berargumen bahwa kampus tidak membunuh hak demokrasi mahasiswa. Dia bahkan berani menyatakan, “Anak boleh bebas, asal tidak melanggar hukum.” Menarik sekali! Kebebasan yang dikondisikan, sebuah konsep yang mungkin hanya dia yang pahami.
Ketika ditanya tentang laporan kepada Polres, Rektor menunjukkan kebijaksanaan yang sangat “bijaksana” dengan mengklaim bahwa perusakan pintu gedung adalah tindakan kriminal. Lalu siapa yang sebenarnya merusak dialog di kampus? Tentu saja, mahasiswa yang meminta hak-hak mereka.
Kesimpulan: UGR, Masa Depan yang Buram?
Krisis di UGR adalah gambaran dari kepemimpinan yang lebih memilih jalan intimidasi daripada mendengarkan suara mahasiswa. Dengan mengabaikan nilai-nilai yang ditanamkan oleh pendiri UGR Sang Pendobrak Ali Bin Dachlan, Basri Mulyani tampaknya lebih nyaman dalam perannya sebagai penguasa, bukan sebagai pemimpin yang mendengarkan.
Saat alumni, mahasiswa, dan seluruh civitas akademika bersatu, ada harapan untuk mengembalikan nilai-nilai kebebasan akademik yang mulai sirna. Jika tidak, masa depan UGR akan tampak semakin kelam dari “Syurganya Demokrasi” menjadi “Kampus dalam Keheningan.”
diolah dari berbagai sumber : Mahasiswa Melawan Kapitalis Birokrat Kampus
Komentar
Posting Komentar