Kenyataannya, UGR kini tak lebih dari panggung absurd di mana setiap sudut kampus menyaksikan parade para "rektor-rektor" dadakan yang memegang kekuasaan seolah tiada batas. "Sejuta rektor" itulah istilah yang santer di kalangan mahasiswa. Sebuah istilah sinis yang lahir dari ketidakpuasan atas perilaku birokrasi kampus yang bak serdadu tak bertuan.
Di kampus ini, tak perlu menjadi rektor untuk bertindak seperti seorang penguasa. Satpam di gerbang kampus dengan gaya otoriter, seolah ia memegang kendali penuh atas nasib mahasiswa. Tanyakan sedikit soal peraturan kampus pada staff fakultas, dan Anda akan dihadapkan dengan jawaban yang terdengar lebih otoritatif dari pidato seorang dekan. Seolah setiap orang di kampus ini merasa memiliki tongkat kekuasaan yang tak terbatas.
Bayangkan, bahkan organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi tulang punggung demokrasi di kampus seperti BEM dan Organisasi Kemahasiswaan Lainnya, bisa saja dipaksa bubar hanya karena 'perintah' dari staff biasa, staff yang bertugas mengunci gerbang dan gedung kampuspun berkuasa seolah pemegang kunci Nirwana beberapa kali mahasiswa dan dosen terkunci di dalam kelas saat proses perkuliahan berlangsung dan kejadian yang terbaru yakni panitia PKKMB terkunci didalam gedung saat rapat mempersiapkan agenda besar ini hanya karena lewat beberapa menit dari jam 6 sore. Bagaimana mungkin? Entah dari mana kekuasaan itu muncul, tetapi beberapa staff administrasi rektorat berperilaku seolah mereka adalah rektor sesungguhnya. Dengan mudahnya mereka mencampuri urusan kemahasiswaan, memberi arahan dan keputusan, hingga akhirnya mencoba mematikan gerakan-gerakan kritis yang sejatinya tumbuh subur di tanah yang seharusnya bernama "kampus kebebasan."
Lihatlah, ketika mahasiswa mengorganisir diri untuk menyampaikan aspirasi atau menyusun aksi demonstrasi, bukan hanya pihak yang berwenang yang turun tangan, tetapi juga staff-staff fakultas yang merasa perlu mencemooh gerakan ini. "Apa lagi yang kalian protes? Kalian hanya membuat keributan," mungkin begitulah bisikan-bisikan nyinyir yang beredar di antara mereka.
Tapi siapa yang memberi mereka otoritas untuk mengatur pikiran kritis mahasiswa? Di UGR, sepertinya batas antara wewenang dan kebebasan terlalu kabur, terhapus oleh ambisi-ambisi kecil yang tumbuh di hati birokrasi kampus.
Tak perlu menjadi rektor untuk merasa berkuasa di sini, karena di UGR, setiap orang bisa menjadi rektor. Entah itu satpam, dosen, staff administrasi atau bahkan sekedar petugas kunci gerbang kampus. Dan tentu sangat miris dan menyedihkan, mahasiswa yang seharusnya menjadi penerus gagasan kebebasan Ali bin Dachlan kerap kali menjadi korban dari permainan kekuasaan tak berdasar ini. Bukankah ironis bahwa kampus yang dibanggakan sebagai "surga demokrasi" kini justru dipenuhi oleh mereka yang ingin membungkam suara?
UGR seharusnya menjadi mercusuar kebebasan intelektual, tempat di mana ide-ide beradu tanpa batas, di mana mahasiswa bisa bebas mengekspresikan diri. Namun kini, ia terlihat seperti panggung teater di mana setiap aktor merasa pantas memerankan peran utama. Dan di tengah segala absurditas ini, mimpi besar Ali bin Dachlan perlahan memudar, terkubur oleh ego dan kekuasaan kecil yang terdistribusi di setiap sudut kampus.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya kembali, kepada siapa kiblat kampus ini sebenarnya? Jika "syurganya demokrasi" hanya sekadar retorika, maka sejuta rektor yang berkuasa tanpa batas adalah mimpi buruk yang seharusnya segera diakhiri.
Do'a terbaik, Lekas sembuh UGR kampus kebebasan, ruang merawat fikiran dan kewarasan.
Penulis : Mahasiswa UGR yang Termarjinalkan Oleh Kapitalis Birokrat Kampus
Komentar
Posting Komentar