Oleh : Rohman Rofiki ( Demisioner Ketua LMND NTB )
Munculnya figur perempuan dalam Pilkada 2024 di Nusa Tenggara Barat (NTB) harus didukung penuh. Ini karena mendorong perempuan untuk menjadi pemegang kebijakan dalam politik Indonesia tidaklah mudah. Hak-hak perempuan sering terabaikan, meskipun mereka yang paling merasakan dampak dari kebijakan politik.
Dalam perspektif keadilan, demokrasi mengandung hak yang harus memberikan kesempatan bagi semua kelompok masyarakat untuk berpartisipasi dalam kebijakan yang relevan. Kesetaraan gender dalam politik adalah isu yang tidak bisa diabaikan. Sayangnya, kesetaraan ini masih sulit dicapai di Indonesia, termasuk dalam politik. Banyak kebijakan belum mengakomodasi kepentingan perempuan.
Menurut World Economic Forum (WEF), perjuangan mencapai kesetaraan gender di Indonesia memerlukan waktu hingga 94,5 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia masih jauh dari cita-cita kemakmuran dan kesetaraan.
Menuju Keadilan
Pada tahun 2003, kebijakan affirmative action diperkenalkan untuk menghadirkan politik yang lebih adil dan mengakomodasi gender di berbagai bidang. Kebijakan ini meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. Partai politik mulai merekrut perempuan sebagai pengurus partai, dan kehadiran perempuan dalam daftar calon semakin terlihat.
Contohnya, periode 2009-2014 menunjukkan peningkatan jumlah perempuan di DPR, mencapai 101 dari 560 kursi. Namun, jumlah ini menurun pada periode 2014-2019, kemudian naik lagi pada periode 2019-2024 menjadi 118 atau sekitar 20 persen. Meski demikian, target 30 persen representasi perempuan yang direkomendasikan oleh Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB belum tercapai. Angka 30 persen ini dianggap sebagai representasi minimal untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan di parlemen.
Tantangan yang Dihadapi
Perempuan menghadapi tiga tantangan utama dalam arena elektoral: kultur partai politik, sistem pemilu, dan persepsi masyarakat. Model "Permintaan dan Penawaran" dari Pippa Norris dan Joni Lovenduski dapat digunakan untuk menganalisis ini.
Pada sisi "Penawaran", variabel seperti sumber daya finansial, waktu, dan pengalaman kandidat menjadi tantangan khusus bagi perempuan, terutama dalam politik transaksional. Perempuan sering kali tidak memiliki cukup dana untuk kampanye, alat peraga, dan biaya saksi karena akses ekonomi yang masih didominasi oleh laki-laki.
Pada sisi "Permintaan", partai politik sering kali menentukan calon berdasarkan kepentingan elit internal, yang erat kaitannya dengan dominasi oligarki dalam partai. Implementasi ambang batas parlemen 4 persen juga mempengaruhi penentuan kandidat, sering kali didasarkan pada popularitas, kekerabatan, dan kedekatan dengan pejabat politik.
Representasi perempuan di DPR saat ini didominasi oleh kader partai (53 persen), politik kekerabatan (41 persen), dan profesional (6 persen). Namun, banyak dari mereka tidak memiliki rekam jejak politik yang jelas, terutama dalam memperjuangkan kepentingan perempuan.
Hambatan Sosial
Selain tantangan finansial dan sistem politik, perempuan juga menghadapi hambatan sosial seperti sikap pemilih yang masih dipengaruhi nilai-nilai patriarki. Kondisi ini membuat dukungan penuh terhadap perempuan dalam Pilkada 2024 di NTB sangat penting untuk mendorong partisipasi dan representasi mereka dalam politik.
Dengan mendukung perempuan dalam Pilkada 2024, kita dapat melangkah menuju politik yang lebih adil dan setara, memastikan kebijakan yang lebih inklusif dan memperjuangkan kepentingan semua kelompok masyarakat, termasuk perempuan
Komentar
Posting Komentar