TIDAK ADA TEMPAT YANG AMAN BAGI PEREMPUAN KECUALI PEREMPUAN PEREMPUAN YANG SADAR
Dalam konstruksi masyarakat patriarkal, tidak ada tempat perempuan yang aman kecuali bagi perempuan -perempuan yang sadar. Ini adalah sebuah ungkapan yang menggambarkan kondisi perempuan terkhusus di Inonesia yang di pandang sebelah mata dan di anggap second class. Lebih mirisnya lagi perempuan paling banyak menjadi korban dalam hal Tindak Pidana kekerasan seksual (TPKS).
Bahkan Lembaga pendidikan yang berlabel agama sekalipun harusnya menjadi wadah yang aman dan nyaman dalam menuntut ilmu, akan tetapi posisi perempuan masih terancam didalamnya. Padahal seperti yang kita ketahui bersama bahwa lembaga pendidikan memiliki peran yang begitu urgensi dalam tumbuh kembang masyarakat yaitu sebagai wadah pemberi ilmu pengetahuan, guna meningkatkan kualitas seseorang sehingga dapat menjalani kehidupan bermasyarakat dengan lebih baik. Tetapi faktanya di beberapa daerah di Indonesia Lembaga Pendidikan menjadi tempat terjadinya perbuatan tidak etis yakni pelecehan dan kekerasan seksual dan memakan korban sampai puluhan.
Pada tahun 2023 media di gemparkan dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi di dua Pondok pesantren di Lombok Timur Nusa Tenggara Barat (NTB). Kejadian yang begitu miris barang tentu sudah korbanya adalah perempuan yaitu Puluhan Santriwati, bahkan di duga sekitar 41 santriwati yang menjadi korban dan ini di lakukan oleh pimpinan lembaga pendidikan agama.
Pada tahun sebelumnya juga terjadi hal serupa, tahun 2022 terjadi pelecehan seksual di salah satu ponpes di kecamatan pringgabaya kabupaten Lombok Timur dan pada tahun 2024 pelaku sudah di tersengkakan dan kasus ini masih di tangani Kejaksaan Negeri (KEJARI) Lombok Timur
Di pulau jawa, kasus-kasus yang senada seperti di pulau Lombok menggemparkan media jagad raya, pasalnya pimpinan pesantren di kabupaten Bandung Jawa Barat pada tahun 2022 terjadi hal serupa yakni kasus pemerkosaan 13 santriwati oleh Herry Wirawan selaku pimpinan pesantren. Dan menyebabkan 9 di antara mereka hamil dan melahirkan.
Kasus kasus tersebut mengambarkan kondisi tidak ada tempat yang aman bagi perempuan bahkan di lembaga pendidikan yang berlabel agama sekalipun.
Dunia Kerja
Dalam menjalani sebuah kehidupan menjadi seorang perempuan itu tidaklah gampang. Apalagi jika perempuan itu juga bekerja di luar rumah. Mereka harus melakukan kerja ganda, yaitu kerja domestik di rumah dan bekerja di luar rumah.
Mereka melakukan pekkerjaan atau tugas domestik yang dianggap kodrat oleh paradigma masyarakat patriarki dan bekerja juga bekerja di luar untuk mencari uang untuk menghidupi keluarga. Akan tetapi menjadi hal yang Ironis, ketika perempuan melakukan pekerjaan yang sama dengan laki-laki di pabrik misalnya, tetapi upah yang diterimanya lebih kecil dibanding oleh laki-laki.
Ketidak adilan yang di rasakan oleh perempuan di dunia kerja memang benar adanya, Kesenjangan upah berdasarkan gender di Indonesia masih begitu tinggi, yakni sekitar 13 persen..
Karena ketidakadilan itu, sejak dulu perempuan memperjuangkan perubahan, termasuk yang dilakukan oleh Kartini lewat tulisan-tulisannya untuk menyuarakan protesnya terhadap ketidakadilan yang di lakukannya seorang diri, di tengah kultur yang sangat feodal.
Sekarang, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah menjamin kesamaan hak bagi setiap orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. Kendati demikian, keterwakilan perempuan di lembaga politik masih terbilang rendah. Di pemilu 2014, hanya 17,32 persen perempuan yang berhasil masuk parlemen. Angka itu lebih rendah dibanding pemilu sebelumnya sebesar 18,21 persen.
Berdasarkan hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8% atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI. Persentase keterwakilan perempuan tersebut masih di bawah angka persyaratan 30% jumlah calon legislatif perempuan pada saat parpol mendaftar menjadi peserta pemilu.
konstruksi patriarkal sangat menghambat ruang-gerak perempuan dalam politik. Ditambah lagi, perempuan kurang didukung oleh sumber daya ekonomi, jejaring sosial dan pengalaman politik.
Masalahnya lagi, karena pemilu identik dengan ketersediaan sumber daya ekonomi dan pengaruh sosial, maka hanya perempuan kalangan elit yang bisa berpartisipasi dalam kontestasi politik. Itulah yang membuat perempuan yang terpilih kurang peduli dengan agenda dan isu-isu perempuan.
Meski demikian, bahwa perjuangan politik merupakan jalan terbaik bagi perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan hak dan kesejahteraan sosial.
Berangkat Dari itu semua , perempuan harus sadar akan pentingnya pendidikan, politik ekonomi maupun budaya agar mampu memperjuangkan hak dasarnya sebagai manusia. Perempuan yang sadar adalah perempuan yang melawan
Komentar
Posting Komentar